"Pupuk bersubsidi sangat membantu, soalnya memang porang sendiri butuh nutrisi yang banyak untuk membesarkan umbinya. Kalau pakai yang nonsubsidi, ya pasti biaya lebih besar juga kan. Ada bantuan dari pemerintah itu sendiri sangat membantu saya menanam porang," kata Yuliarta Darma Suganda, petani porang asal Desa Plandaan, dikutip GenPi, Jumat (24/9).
Ia mengatakan, sebelum adanya pupuk bersubsidi, dirinya merasakan sangat berat untuk menanam porang apalagi untuk masa pertama tanam memakan waktu dua tahun untuk sekali panen.
"Jadi memang karena masih belajar, kalau pakai yang nonsubsidi itu habisnya pasti banyak, otomatis biaya untuk penanaman semakin banyak, Jadi memang kalahnya petani-petani porang itu di situ," katanya.
Ia menyebut masa tanam porang cukup lama, dan biayanya mahal, dan ketika panen keuntungan tidak banyak.
Suganda mengatakan, dirinya yang sudah menanam porang selama empat tahun telah melakukan satu kali panen selama masa tanam tersebut.
"Jadi untuk masa tanamannya sendiri saya sudah menanam tahun keempat ini, kami sudah melakukan satu kali panen dan menghasilkan tiga ton untuk umbi basahnya. Untuk harga dari Porang sendiri itu masih naik turun kisaran untuk per kilonya masih sekitar Rp 7.000 - Rp 8.000, tergantung kami masukkan di pabrik mananya, jadi harganya sekitar segitu," katanya.
(PTW/Redaksi)