"Aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim butuh komitmen politik karena harus dimulai dari kepala daerah yang diwujudkan dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD)," ungkap Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati dalam webinar yang digelar Deputi Bidang Klimatologi, BMKG (6/8).
Menurut Dwikorita, pemerintah kabupaten/kota harus mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan terburuk dari bencana alam serta dampak perubahan iklim, seperti kejadian badai tropis, banjir, banjir bandang, longsor, angin kencang, dan kekeringan yang diprediksi akan lebih sering terjadi dengan intensitas yang lebih kuat, ataupun mencairnya es di puncak Jaya Wijaya Papua, yang diprediksi oleh BMKG akan punah di tahun 2025, dan naiknya muka air laut. Mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim sudah mendesak harus dilakukan segera untuk mencegah risiko dan kerugian yang lebih besar.
Dwikorita menyebut, mengatasi persoalan perubahan iklim adalah tugas yang cukup menantang, karena ini membutuhkan komitmen gotong royong dan koneksitas yang kuat dari level pusat hingga daerah, dengan usaha-usaha yang komprehensif dan nyata, misalnya lebih menggencarkan penghijauan secara tepat, pengendalian tata ruang secara lestari, pencegahan masif terhadap karhutla, menggalakkan penggunaan energi terbarukan dan mengurangi penggunaan energi fosil, menerapkan transportasi dan pembangunan infrastruktur yang ramah lingkungan.
"Jika komitmen hanya dilakukan satu daerah saja, maka hal tersebut, menjadi kurang berarti. Kita harus membangun persepsi bersama bahwa perubahan iklim ini adalah sebuah kerisauan dan ancaman bersama yang juga harus dimitigasi bersama-sama, karena dampaknya tidak mengenal batas administrasi. Masyarakat juga harus dilibatkan, tidak hanya pemerintah," ujarnya.
Di Indonesia sendiri, lanjut Dwikorita, berdasarkan pengamatan BMKG, tahun 2020 merupakan tahun terpanas kedua dalam catatan. Pengamatan dari 91 stasiun BMKG menunjukkan suhu rata-rata permukaan pada tahun 2020 lebih tinggi 0,7°C dari rata-rata periode referensi tahun 1981-2010.
Situasi ini, kata dia, memicu pergeseran pola musim dan suhu udara yang mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi. Salah satunya adalah kejadian kebakaran hutan dan lahan yang tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi kekeringan yang ekstrim, tetapi juga menyebabkan peningkatan emisi karbon dan partikulat ke udara.
"Saya berharap fakta-fakta ini dapat perhatian kita bersama guna mencegah pemanasan global semakin parah," pungkasnya.
(Sumber: Biro Humas BMKG/SBN)