Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam acara Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) International Energy Conference yang digelar secara virtual di Jakarta (07/10/21) menyebutkan bahwa aturan pengurangan emisi CO2 yang cukup ketat disebut juga penyebab harga karbon menjadi sangat tinggi. Hal inilah memicu permintaan energi meningkat seiring keterbatasan pasokan gas di Eropa. Sehingga banyak pasokan yang awalnya untuk pasar Asia justru malah ke Eropa, yang direpresentasikan oleh harga spot Liquefied Natural Gas (LNG) terlampau tinggi mencapai lebih dari US$25 per mmbtu.
Indonesia, sebagai negara yang menyetujui Kesepakatan Paris (Paris Agreement) tentang perubahan iklim terus berupaya mereduksi pemanasan global agar tak melebihi 2 bahkan 1,5 derajat Celcius. Tercermin saat diprogramkannya mandatori Bahan Baku Nabati (BBN) atau biofuel yang merupakan upaya Pemerintah dalam mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan rendah karbon. Menyusul kemudian efektivitas B30 yang dirasa sangat berguna mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sekitar 23,3 juta ton karbondioksida (CO2) sejak tahun 2020.
Maka pembangunan jangka panjang yang diproyeksikan Pemerintah adalah melakukan transisi energi dengan memperhatikan dampak emisi karbon bagi pemanasan global. Oleh karena itu, Pemerintah akan menghentikan penggunaan energi fosil, terlebih yang mengandung emisi karbon relatif tinggi. Demi berlangsungnya realisasi tersebut, Pemerintah juga akan memberi insentif bagi penggunaan energi bersih seperti energi terbarukan.
Kendati demikian, kebijakan untuk menurunkan energi karbon juga harus mempertimbangkan aspek pertumbuhan ekonomi melalui sejumlah riset terlebih dahulu. Bagaimana dilihat dari sudut pandang politik, sosial dan lain sebagainya. Dengan kata lain, Pemerintah terus beritikad menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan penurunan emisi di sisi lain.
Apalagi mengingat pandemi Covid-19 di mana kelas ekonomi menengah ke bawah sedang mengalami penurunan drastis, Menko Airlangga menjelaskan telah menambah anggaran bagi kelompok rentan meskipun pendapatan pajak juga berkurang karena terdampak pandemi.
“Kita telah meningkatkan anggaran untuk menjaga kelompok ini termasuk di dalamnya adalah UMKM. Semua ini tentunya membutuhkan anggaran yang cukup besar, di tengah penerimaan pajak yang menurun akibat pembatasan kegiatan ekonomi” ujarnya.
Di saat bersamaan. Pertumbuhan ekonomi, pemanasan global, komitmen negara-negara untuk mengurangi emisi dengan menginstalasi energi terbarukan, adalah perhatian yang tak bisa dihindari oleh Pemerintah, bahkan oleh siapapun.
“Pemerintah tak bisa bergerak sendirian. Sektor swasta, akademisi serta organisasi wadah pemikir, organisasi masyarakat sipil atau LSM, perlu bahu-membahu berkontribusi mendukung Pemerintah dalam menghasilkan kebijakan yang berorientasi jangka panjang, tetapi tak lupa mengatasi tantangan jangka pendek saat ini,” terang Menko Airlangga.
(NMH/SBN)