Mengawali pemaparannya, Wakil Jaksa Agung RI menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada pihak penyelenggara yang telah bekerja keras dalam menyelenggarakan kegiatan ini untuk menunjukan kesamaan semangat membangun sinergi antar kementerian dan lembaga dalam melakukan pencegahan penempatan illegal dan penegakan hukum sebagai bentuk perlindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia.
“Berbicara mengenai perlindungan pekerja migran Indonesia merupakan sesuatu yang sangat kompleks dan bersifat multidimensi, sehingga tidak ada lembaga tunggal yang memiliki kemampuan untuk memastikan pencegahan dan perlindungannya, hanya kemitraanlah yang memungkinkan adanya pengembangan dan pelaksanaan penanganan secara komprehensif yang akan memberikan dampak nyata dan membawa perubahan sistemik,” ujar Wakil Jaksa Agung RI.
Beberapa permasalahan yang sering dihadapi oleh para pekerja migran diantaranya, permasalahan dokumen kelengkapan biaya penempatan berlebih, overstay, gaji tidak dibayar, penganiayaan, pemerkosaan, bahkan terjadi perdagangan orang serta kasus pidana lainnya, dan mayoritas menimpa perempuan pekerja migran Indonesia.
Kejahatan perdagangan orang kerap dijumpai bersinggungan dengan berbagai tindak pidana lainnya seperti pencucian uang dan korupsi. Dalam kaitanya dengan kasus korupsi dapat kami contohkan misalnya adanya perusahaan yang mengirimkan Tenaga Kerja Indonesia secara ilegal dalam jumlah tertentu (besar) yang tanpa dan/atau diketahui oleh BP2TKI, dari tindakan korporasi tersebut kemungkinan ada sejumlah pemasukan negara yang hilang, sehingga akhirnya justru menimbulkan potensi kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UU Tipikor, selain itu gratifikasi atau suap juga mungkin terjadi dalam pelayanan publik dan dokumen, pengerahan surat izin pengerahan (SIP) dalam perekrutan TKI, dan lain sebagainya. Artinya subjek pelaku tindak pidana yang tidak lagi semata dilakukan oleh individu, melainkan oleh sindikat kejahatan serta korporasi yang terorganisir dan lintas negara (transnational organized crime).
Selain hal yang telah disebutkan di atas, dalam era globalisasi dan modern ini tidak menutup kemungkinan kejahatan human trafficking dilakukan oleh korporasi. Sering sekali penyalur jasa TKI ilegal menggunakan modus usaha baik berbentuk CV, PT ataupun lain lain untuk melancarkan niat jahat melakukan human trafficking.
Kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada korporasi sudah diberikan secara eksplisit dalam rumusan Undang-Undang No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
“Sebagai upaya untuk menanggulangi tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh korporasi, maka UU ini telah “mengatur mengenai manusia dan korporasi sebagai subjek hukum. Ditempatkanya korporasi dalam subjek hukum tindak pidana human trafficking dapat memberikan harapan serta optimisme bagi upaya pengusutan dan pemberantasan tindak pidana human trafficking,” ujar Wakil Jaksa Agung RI.
Selanjutnya berkaitan dengan upaya untuk memberantas praktik perdagangan orang/human trafficking dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), yang tidak hanya mengatur perdagangan orang terhadap perempuan dan anak yang rentan menjadi korban, tetapi terhadap siapapun yang menjadi korban perdagangan orang.
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) mengatur juga mengenai hak-hak korban perdagangan orang yang tercantum dalam Bab V Pasal 48–55 UU PTPPO. Hak-hak tersebut meliputi hak untuk memperoleh restitusi, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial.
(Amatus Rahakbauw/SBN)