Houtman Simanjuntak selaku Pemerhati pasar Facility service melayangkan sebuah tulisan kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno atau menteri lain yang terkait.
Di dalam tulisan tersebut, tersirat bahwa Houtman tidak menyetujui beberapa poin dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, diantaranya dalam pemberian pesangon bagi karyawan yang keluar atau mengundurkan diri serta pembayaran upah minimum yang memberatkan.
Dihubungi INBISNIS, Kamis (8/4), Houtman menyampaikan, di dalam bisnis facility service, setiap tahun, rata-rata karyawan yang berhenti sebesar 60 persen. Jadi, jika jumlah karyawan sebanyak 5.000 orang, per tahunnya sekitar 3.000 orang akan berhenti dan mendapatkan pekerjaan yang baru.
Baca Juga: Apa Agama Teroris?
Ia mempermasalahkan terkait bagaimana pembayaran pesangon dapat dilakukan dengan jumlah karyawan sebanyak itu.
"Karyawan yang berhenti itu, rata-rata per tahun 60 persen, karena setelah dilatih, biasanya mereka mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di tempat lain. Bagaimana kita mampu membayar pesangon sebanyak 60 persen dari karyawan yang berhenti," ujarnya.
"Itu sangat berat, yang berhenti pertahun sampai 60 persen. Kita punya 5.000 karyawan, yang berhenti 60 persen, kita gak mampu untuk membayar pesangon untuk 3.000 orang setahun untuk pekerjaan yang sama," lanjut Houtman.
Di sisi lain, terkait upah pekerja, dirinya mengatakan, memikirkan kebutuhan orang sebagai syarat penentuan upah adalah cara berpikir yang salah.
"Itulah cara berpikir yang salah, bahwa kita memikirkan kebutuhan orang, menurut saya, gaji besar atau kecil, habis. Tapi coba dibayangkan, orang yang baru bekerja dapat gaji yang sama dengan yang bekerja dua tahun, kemudian untuk dapat bekerja dengan baik seperti yang saya tulis, butuh enam bulan," lanjut Houtman.
Baca Juga: Pacaran dan Kesehatan Mental Remaja
Dia menambahkan, sistem yang dapat dilakukan adalah penggunaan sistem merit seperti di Singapura.
"Jika mengikuti sistem merit seperti di Singapura, mungkin mereka (pekerja) dapat gaji 3 juta waktu mereka mendaftar, setelah 6 bulan mereka dapat gaji 3,5 juta, setelah setahun mereka dapat gaji 3,8 juta, tapi misalnya setelah mereka bekerja bagus, mereka dapat misalnya 4,2 juta, kalau sudah 2 tahun akan lebih dari Upah Minimum Provinsi (UMP) yaitu 4,5 juta," ucap dia.
Dengan tingginya UMP DKI Jakarta (Rp 4.276.349, terbaru Rp 4.416.186), saat ini pihaknya merasa tidak sanggup untuk melakukan pembayaran, terlebih bagi karyawan baru.
Houtman mengungkap, menurutnya sistem penggajian saat ini adalah sistem Komunis, karena bersifat disetarakan.
"Gak bener penggajian itu, itu cara penggajian komunis. Bagi rata gitulo, sama-sama sakit. kalau yang benar, kalau mau mendorong produktivitas, mereka harus berlomba-lomba gaji yang lebih tinggi dengan bekerja lebih baik," tandas Houtman.
(Red*/Koko)