Tak pernah kuduga, suami tercinta dipanggil oleh yang Maha Kuasa dalam waktu yang sangat cepat. Di saat aku sedang mengandung enam bulan, Bunda. Dia harus pergi selama-lamanya dan tak mungkin untuk kembali lagi.
Oh ya, perkenalkan, aku adalah seorang Bunda dari seorang putri yang sangat cantik. Dialah penguatku untuk tetap tegar menghadapi hidup tanpa suami.
Ujian hidup kala itu rasanya seperti menampar dan membuatku terpelanting. Kebahagiaan seperti terenggut begitu saja dari genggaman tanganku.
Pernikahan kami terbilang bahagia dan tanpa masalah, meski sudah lama belum juga dikaruniai momongan. Almarhum suami begitu sabar menanti kehamilanku.
Hingga akhirnya, setelah tiga tahun merajut bahtera rumah tangga, Tuhan mempercayakan kehadiran buah hati dalam rahimku.
Kehamilan ini ku jaga dengan baik-baik. Begitu pula dengan suami yang memberi banyak doa untuk calon anaknya. Hingga suatu hari badai dan petir menimpaku. Ketika mendengar kabar ia meninggal dunia. Saat itu dunia rasanya runtuh, gelap, dan goyah.
Suamiku harus meninggalkanku untuk selama-lamanya. Iya, Suamiku meninggal dunia.
Dengan sekuat tenaga aku mengikhlaskan kepergiannya. Dan, sejak saat itu aku berjanji akan menjadi seorang ibu yang kuat untuk anakku.
Saat itu juga, ada janji yang kutanam di dalam hati. Aku akan mendidik dan membesarkan anakku dengan baik. Hingga kelak anakku bisa menjadi kebanggaan aku dan almarhum ayahnya.
Membesarkan anak seorang diri juga bukan hal yang mudah. Namun, aku selalu percaya bahwa Allah akan selalu membimbing jalanku. Meski banyak badai menerpa, dalam prinsip hidupku saat ini hanya agar putri semata wayangku tumbuh menjadi anak yang bahagia dan beruntung.
Meski berat, aku berjanji untuk bisa menjadi ibu, teman, saudara sekaligus ayah yang terbaik untuknya.
Semoga kisahku ini bisa menjadi penyemangat untuk para Bunda di luar sana yang mengalami nasib sama.
Ingat, Bunda, kita tak sendiri, karena si kecil akan menjadi penyemangat dunia dan akhirat kelak.
(Amatus Rahakbauw/SBN)