Pelanggaran HAM berat masa lampau yang masuk dalam lingkup kewenangan Pengadilan HAM (UU 26 tahun 2000) adalah kualifikasi tindak pidana bagi berbagai peristiwa pelanggaran berat HAM (kejahatan kemanusian dan genosida, pasal 6 red) yang terjadi sebelum tanggal 23 November 2000. Dalam hal ini, tempus delicti atau waktu terjadinya kejahatan adalah sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM. Dalam kaitannya dengan penyelesaian pelanggaran berat HAM masa lampau maka sesuai dengan pasal 43 hanya dapat diselesaikan dengan Pengadilan HAM Adhoc. Yang memang dibedakan dengan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi setelah diberlakukannya UU Pengadilan HAM, dimana pembedanya adalah dari cara pembentukannya. Khusus untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lampau, hanya dapat diselesaikan dengan pengadilan HAM ad hoc yaitu pembentukannya dengan Keputusan Presiden atas rekomendasi DPR.
Tentang wewenang pengadilan HAM adhoc untuk mengadili perkara pelanggaran HAM berat masa lampau pernah dilakukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi namun MK dalam putusan tetap berpendapat bahwa pengadilan ham adhoc tetap konstitusional, meskipun melakukan pemberlakuan asas retroaktif. Alasan lain diberlakukannya asas retroaktif atas pelanggaran HAM masa lalu adalah berdasarkan pertimbangan moralitas, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis atas nama keadilan. Pemberlakuan asas retroaktif dalam rangka penegakan hukum pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu lebih didasarkan pada pertimbangan politik.
Situasi ini terjadi selama proses transisi dari pemerintahan otoriter menuju pemerintahan demokratis - dibutuhkan jalan tengah untuk menyelesaikan krisis nasional, dan demi stabilitas politik.
Alasan politik di atas tidak berarti ditinggalkannya prosedur yuridis, karena dengan adanya UU HAM berarti prosedur yuridis menjadi sangat penting. Pertimbangan masalah politik terjadi karena pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di masa lalu tidak lepas dari ruang lingkup kebijakan politik pemerintah sebelumnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pelanggaran HAM yang terjadi di berbagai belahan dunia tidak terlepas dari politik di balik tindakan tersebut.
Jadi dengan lain perkataan penuntutan terhadap perkara pelanggaran HAM berat masa lampau hanya dapat diselesaikan dengan Pengadilan HAM adhoc yang pembentukannya harus secara khusus melalui Keppres atas dasar rekomendasi DPR. Pertimbangan politis DPR menjadi dasar yuridis atas pembentukan pengadilan HAM Adhoc yang harus secara spesifik menyebutkan peristiwa pelanggaran HAMnya serta juga menyebutkan rentang waktu terjadinya kejahatan.
Pengadilan HAM Adhoc di Indonesia
Sepanjang sejarah semenjak berdirinya Republik Indonesia hingga kini hanya dua pengadilan HAM adhoc yang pernah dibentuk oleh Keppres, yang pertama, Peristiwa Jajak Pendapat serta kejadian pasca Jajak Pendapat yang terjadi di Timor Timur (Timor Leste) pada tahun 1999. Sedangkan, yang kedua yaitu peristiwa Tanjung Priok pada bulan September 1984. Praktis jika merujuk pada perjalanan sejarah semenjak terbentuknya Pengadilan HAM hanya ada satu peristiwa pada masa orde baru yang dikualifikasi sebagai pelanggaran HAM berat masa lampau yaitu Peristiwa Tanjung Priok 1984. Sedangkan satu lagi yaitu peristiwa pasca orde baru yaitu peristiwa jajak pendapat di Timor Timur.
Dari kedua pengadilan HAM Adhoc tersebut, jika merujuk pada pada pengadilan HAM Adhoc Tanjung Priuk, maka tak ada satupun pelaku yang diajukan ke pengadilan pada akhirnya diputus bersalah. Padahal dalam salah satu tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terdapat penggabungan perkara pidana dengan perdata, dimana tanggung jawab negara dimintakan untuk mereparasi korban dengan memberikan kompensasi kepada korban. Namun pada tingkat Mahkamah Agung karena pelakunya dinyatakan tidak bersalah atau tidak terbukti bersalah sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum sehingga kompensasi yang telah di perjuangan team Jaksa Penuntut Umum tidak dapat dilaksanakan.
Lalu timbul pertanyaan saya, kenapa mahasiswa masih memaksakan untuk pelaku pelanggaran HAM berat masa lampau untuk diajukan ke pengadilan HAM Adhoc? Apakah mahasiswa telah melakukan kajian secara mendalam tentang hal tersebut? Padahal bagian terpenting dari penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lampau itu bukan pelaku akan tetapi korban. Jika dalam dua Pengadilan HAM Adhoc yang telah gagal mengadili pelaku pelanggaran HAM berat, menurut hemat saya jika mahasaiswa menuntut untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lampau dengan membawa pelaku ke pengadilan HAM, bukankah justru hal tersebut melanggengkan impunity? Jadi apakah mahasiswa benar-benar membela kepentingan korban pelanggaran HAM berat masa lampau?
Berbagai pertanyaan diatas terus menggelitik pikiran saya hingga kini, apakah justru aksi moral mahasiswa yang menuntut penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat dengan hanya meminta pelaku diadili akan tetapi tanpa menyebutkan pentingnya korban malah jadi berbalik bahwa tuntutan tersebut adalah upaya melanggengkan impunity dan sama sekali tidak memikirkan korban pelanggaran Ham berat masa lampau. Seharusnya terlebih dituntut adalah penyempurnaan mekanisme yudisial dalam Undang-undang pengadilan HAM, semisalnya penyempurnaan mekanisme pembentukan pengadilan HAM adhoc, mengedepankan kepentingan korban kejahatan diatas kepentingan pencarian pelaku serta penyempurnaan mekanisme hukum acara seperti pemberian restitusi, kompensasi dan rehabilitasi yang tidak dipentingkan pada pernyataan bersalah dari pelaku yang diajukan ke persidangan pengadilan HAM.
Mekanisme Extra Yudisial dan Peraturan Jaksa Agung
Penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat masa lampau melalui mekanisme yudisial penting untuk terlebih dahulu dilakukan berbagai perubahan berkaitan dengan mekanisme hukum acara dalam pengedailan HAM adhoc termasuk penyempurnaan mekanisme pembentukan pengadilan HAM Adhoc, dimana wewenang DPR untuk merekomendasikan tidak saja atas dasar sub poena DPR akan tetapi mempertimbangkan teknis penuntutan suatu perkra serta pertimbangan hasil penyelidikan team adhoc pelanggaran ham berat. Jadi kalau pengadilan HAM adhoc nya sendiri tak pernah dibentuk dengan keppres setelah ada rekomendasi dari DPR, tuntutan aksi mahasiswa meminta penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat masa lampau kepada Jaksa Agung untuk membawa pelaku ke pengadilan adalah hal yang absurd. Karena bagaimana wewenang penuntutan dapat dilakukan Ketika pengadilan ham adhocnya belum dibentuk Presiden. Jika memang proses penuntutan sudah dilakukan Jaksa Agung, dengan meningkatkan prosesnya ke penyidikan maka kemudian timbul pertanyaan “ke pengadilan mana berkas perkara penuntutan tersebut akan dilimpahkan Ketika pengadilan ham adhoc saja belum terbentuk. Mau dilimpahkan kemana berkas dan tersangkanya? Maka dari itu saya dapat katakana tuntutan itu adalah tuntutan yang absurd.
Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lampau tidak saja dengan mekanisme yudisial akan tetapi juga ekstra yudisial, yaitu melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Namun jauh sebelum dijalankan kewenangan komisi kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), namun pada tahun 2006 undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai inkonstitusional. Semenjak dinyatakan inkonstitusional hingga kini tidak ada langkah berarti untuk Kembali menetapkan UU KKR dan membentuk KKR. Jadi dalam hal ini penyelesaian pelanggaran HAM berat tidak bisa disimplikasi hanya dengan meminta Jaksa Agung melimpahkan perkara pelanggaran HAM berat masa lampau dengan didahului meningkatkan hasil penyelidikan komnas HAM ke tingkat penyidikan. Akan tetapi penyelesaian pelanggaran ham berat masa lampau adalah permasalahan yang multidimensional yang tidak saja tanggung jawab ada pada Pundak Jaksa Agung akan tetapi juga multi-sektoral.
Dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan tentang kebijakan penegakan hukum berdasarkan keadilan restorative. Dalam pidatonya, Jaksa Agung mengharapkan bahwa Peraturan Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restorative dapat menjadi model untuk revisi KUHAP. Namun menurut hemat saya lebih dekat lagi jika Jaksa Agung juga dapat mengambil terobosan untuk penyelesaian perkara pelanggaran HAM Berat masa lampau juga terpusat pada korban (victims centered prosecutorial discretion). Hal ini sejatinya disampaikan dalam pidato beliau tentang prinsip dasar dilakukannya diskresi penuntutan yaitu memperhatikan dan menyeimbangkan antara aturan yang berrlaku dengan asas kemanfaatan. Dalam hal ini langkah besar untuk pengkajian penyelesaian extra yudisial menjadi sangat penting, dimana sebagai pengendali perkara tertinggi, Jaksa Agung dapat membuat terobosan juga perihal penerapan restorative justice untuk penyelesaian perkara pelanggaran HAM. Pemikiran dasarnya sudah ada dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020 tinggal pengemabngan lebih lanjut untuk kepentingan penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat masa lampau yang terpusat pada korban.
Sebagai penutup dari artikel ini, maka dapatlah saya sampaikan sebaiknya mahasiswa dalam melakukan tuntutan aksi perlu lebih jeli dan teliti dalam Menyusun tuntutan aksi, jangan sampai tuntutan aksi tersebut malah terkesan terdapat titipan dari “calon terdakwa” unyuk melanggengkan impunity. Berbagai tuntutan itu memiliki implikasi akan tetapi jika tuntutan disusun tanpa pertimbangan yang berrsifat multi-dimensional malah menjadi boomerang bagi teman teman mahasiswa. Penting bagi kalian tidak saja demo dan menuntut sesuatu akan tertapi juga sekaligus mempertimbangkan implementasinya.
Kesan tak kunjung selesainya perkara pelanggaran HAM berat masa lampau tidak serta merta menjadi tanggung jawab Jaksa Agung yang tak juga melimpahkan perkara dengan terlebih meningkatkan status penyidikan atas hasil penyelidikan komnas HAM. Akan tetapi terdapat permasalahan yang lebih esensial yaitu kemana berkas perkara tersebut harus dilimpahkan Ketika pengadilan HAM Adhoc atas perkara tersebut tidak juga dibentuk melalui Keppres yang didasarkan atas rekomendasi DPR.
(Amatus Rahakbauw/SBN)