Seperti halnya di negara Indonesia memiliki kacamata tersendiri terkait standar kecantikan. Pada umunya standar kecantikan di Indonesia adalah sesorang dengan bentuk tubuh ideal, berkulit putih bersih, rambut lurus hitam dan panjang. Hal ini juga berkaitan dengan media yang mendukung representasi kecantikan.
Masing- masing orang memiliki penilaian tersendiri dalam memandang orang yang menurutnya menarik, bahkan standar kecantikan justru menjadi acuan bagi seseorang untuk menilai penampilan orang lain. Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi cara berpikir seseorang mengenai kecantikan itu sendiri? Bukankah cantik itu relatif dan dimiliki oleh semua Wanita?
Terkadang kehidupan perempuan di Indonesia di persulit oleh aturan akan standar kecantikan yang pada dasarnya mereka tidak tahu siapa yang mencetuskan standar kecantikan tersebut. Tidak jarang sebagian orang mendefinisikan kecantikan yang dimiliki perempuan dengan kategori bahwa perempuan harus memiliki kulit yang putih, tubuh yang ideal dan langsing, hidung mancung, wajah bersih dan berseri. Selain itu juga peraturan di dunia kerja cenderung menempatakan kaum wanita pada posisi dan standar kecantikan yang justru memeicu rasa insecure akan penampilan mereka sendri, dunia kerja sekarang bahkan mengharuskan wanita memiliki penampilan yang good looking.
Sebenaranya siapa pencetus standar kecantikan tersebut? dan mengapa standar kecantikan justru dijadikan sebagai penilaian utama akan kulitas seorang wanita? dan apakah wanita yang tidak memenuhi kategori standar kecantikan tersebut akan diasingkan? bukankah dengan penilaian seperti ini justru akan memicu dan menambah rasa insecure atau hilangnya rasa percaya diri pada diri seorang wanita. Seorang wanita cenderung menyikapi segala sesuatau di dalam lingkungan pertemanan, percintaan, dengan perasaan mereka bahkan merspon segala yang dinilai dengan pola pikir yang justru mempengaruhi dirinya sendiri.
Hal yang justru sangat menyakitkan bagi seorang wanita ketika berhadapan dengan keadaan yang dimana mereka terlihat berbeda dan sangat buruk dari teman ataupun lingkungan yang menututnya memiliki penampilan yang sempurna, hal itu pun menyebabkan seorang wanita merasa tersingkir, dijauhi bahkan merasa malu dengan keadaan fisik ataupun penampilannya sendiri bahkan dengan aturan akan standar kecantikan pada wanita cenderung percaya dan meyakini bahwa kecantikan adalah poin utama yang harus dimiliki oleh seorang waniita.
Ketika kaum wanita tidak menemukan salah satu standar kecantikan yang ada pada diri mereka maka mereka akan beranggapan bahwa diri mereka tidak cantik dimata orang lain. Penilain akan standar kecantikan yang menutut wanita harus terlihat cantik justru memicu kesehatan mental pada kaum wanita hingga apada akhirnya para wanita akan melakukan segala cara demi mencapai standar kecantikan tersebut. Dengan adanya standar kecantikan justru perlakuan dan penghinaan buruk akan tubuh sesorang seperti” body shaming” sering kali terjadi dan dijumpai pada lingkungan baik itu lingkungan pertemana ataupun pada lingkungan masyarakat.
Berbagai statement dan komentar orang akan penamipan fisik justru menjatuhkan rasa percaya diri seorang wanita. Seperti “ Kamu sangat jelek karena memiliki tubuh yang gendut, dan muka yang tidak mulus” komentar sepeti inilah yang menyebabkan rasa insecure pada wanita tidak akan pernah hilang, bukankah kecantikan tidak harus menjadi poin utama dan penampilan ataupun fisik seorang wanita bukanlah ukuran kecantikan melainkan kecantikan yang berasal dari hati adalah nilai utamanya? karena pada dasarnya kecatikan tidak menjadi ukuran agar wanita tidak memiliki rasa percaya diri, dan karakterlah yang sehurusnya menonjol ataupun sikap yang baiklah yang mencerminkan kecantikan yang ada pada diri seorang wanita.
Dengan adanya standar kencatikan seolah-olah kualitas diri seorang wanita juga dinilai yang seharusnya kualitas diri wanita terlihat pada kepribadianya bukan rupanya.Malah kebanyakan orang memiliki pendapat bahawa kecantikanlah yang menetukan kualitas diri dari seorang wanita Sebenarnya standar kecantikan bukanlah bukanlah penetu kualitas diri seorang wanita , karena wanita yang berkualitas adalah seorag wanirta mampu berkaya, berkarier, dan berani bermimpi. Pada dasarnya semua wanita memiliki standar kecantikannya sendiri, dan kompetensinya. Kecantikan itu, belum tentu menjamin kualitas diri seorang perempuan.
Wanita akan terlihat cantik ketika ia memiliki rasa percaya diri bahawa mereka terlihat sangat cantik, ketika mereka bersyukur dengan semua hal yang ada pada tubuh mereka dan bukannya malah merasa insecure. Seorang wanita yang memiliki rasa insecure atas fisik ataupun bentuk tubuhnya adalah wanita yang cenderung akan percaya dengan adanya standar kecantikan itu sendiri yang kemudian memiliki tanggapan bahwa dirinya tidak memenuhi standarisasi kecantikan tersebut sehingga rasa percaya diri pada wanita justru hilang. Oleh karena itu, kecantikan dan kualitas diri perempuan harus ada korelasi. Wanita yang cantik adalah wanita yang mampu menempatkan dirinya dengan baik mampu menemukan potensi pada dirinya dan berani menujukkan diirinya sendiri dihadapan siapapun dengan rasa bangga bahwa semua yang dimiliki adalah anugerah yang seharusnya disyukuri dan tanpa rasa malu menujukkan dirinya.
Bahakan seorang wanita dapat mematahakan standarkan kecantikan yang ada adi wanita dengan berani menunjukkan prestasi seperti menjadi wanita berakrier dan mampu menjadi pempimin yang membanggakan. Selain itu hal yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat yang bisa menjadikan wanita lebih berharga diluar dari ukuran fisik semata.Seorang wanita tidak harus memenuhi dtandar kecantikan dalam hidupnya hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain akan keadaan dirinya akan tetapi wanita mampu tampil cantik untuk dirinya sendir bukannya untuk memenuhi ekspektasi orang lain akan kecantikannya. Apapun bentuk tubuh rupa dan warna kulit seorang wanita tidak akan menetukan kualitas diri seorang wanita akan kecantikan yang dimilikinya karena wanita itu tetap akan terlihat istimewa dengan keragaman yang dimiliki.
Penulis: Fransiska Xaveria Cabrini Olang
Program Studi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, Unika St.Paulus Ruteng
(Hendratias Iren/Redaksi)