Dari alur pikir ini, saya kira, "rasa ketertarikan" seorang remaja terhadap lawan jenisnya, tentu sesuatu yang sangat manusiawi dan normal. Karena itu, tidak terlalu etis jika kita membatasi atau melarang para remaja di tingkat SMP atau SMA/SMK untuk "membangun" hubungan yang lebih spesial dengan lawan jenisnya.
Berpacaran itu tentu sangat menyehatkan. Saya sering mendorong para siswa/i untuk berpacaran secara sehat dan wajar. Saya memprovokasi mereka dengan pernyataan ini: "Ukuran kesehatan dari aspek kejiwaan adalah tindakan berpacaran". Siswa yang "tidak mau (bisa) berpacaran, patut diduga ada yang kurang dari perkembangan kepribadiannya.
|Baca Juga: Mengapa Manusia Begitu Mudah Berubah Menjadi Penjahat Terorisme?
Memang saya belum membaca literatur yang membahas secara komprehensif perihal dampak pacaran bagi perkembangan psikologis remaja. Tetapi, dari pengalaman empirik selama ini, siswa yang berpacaran jauh lebih bergairah dan relatif bersinar dalam setiap penampilan mereka. Mereka merasakan semacam 'insentif spirit' ketika mereka berpacaran sehingga hidup mereka terasa lebih berwarna dan memesona.
Actus beracaran sudah menjadi tren dan bahkan bagian inheren dalam lingkungan masyarakat. Bukan hanya mereka yang tergolong 'cukup umur' yang melakukan aktivitas itu. Bocah ingusan dan remaja yang umumnya berada di bangku sekolah menengah pun banyak yang sudah mulai berpacaran.
Itu itu sebuah factum psikologis dan afeksional yang sulit dibantah. Rasa 'keterpikatan' pada lawan jenis merupakan bagian dari 'kodrat' sebagai manusia. Tidak heran jika pembicaraan tentang 'tema pacaran' banyak digandrungi oleh anak-anak muda kita. Ketika menggunakan kata kunci pacaran remaja di pencarian google, maka akan ditemukan banyak berita, tulisan, gambar dan video tentang anak remaja yang berpacaran. Dengan alasan apa pun, pacaran pada usia remaja sudah menjadi hal yang lumrah di kehidupan bermasyarakat.
|Baca Juga: Media Online Indonesia Tetap Eksis dan Solid
Namun, ternyata ada juga temuan yang cukup mengejutkan terkait dengan remaja yang kurang atau tidak berpacaran sama. Pertanyaan kunci dalam riset itu adalah apakah remaja yang tidak berpacaran bisa memiliki hubungan sosial yang baik dan apa saja dampaknya pada kesehatan mental para remaja?
Dilansir dari Psychology Today, sebuah penelitian dilakukan oleh Brooke Douglas, seorang mahasiswa doktoral di College of Public Health dan profesor promosi kesehatan dan perilaku. Penelitian tersebut melibatkan 594 siswa sekolah menengah atas di Georgia dari tahun 2003 sampai 2009 dengan melibatkan siswa-siswi untuk melacak pola berpacarannya.
Para remaja itu dibagi dalam empat kategori berdasarkan data pacaran. Pertama, kategori rendah untuk remaja yang baru memiliki pacar atau rata-rata hanya satu pacar dalam tujuh tahun. Kedua, kategori meningkat untuk remaja yang berpacaran rata-rata tiga kali lebih sering seiring bertambahnya usia. Ketiga, kategori menengah atas untuk yang berpacaran rata-rata empat sampai lima kali. Keempat, kategori sering untuk yang berpacaran enam kali.
|Baca Juga: Dewan Pembina DPP MOI: Nahkoda Organisasi Harus Berani dan Tegas
Hasil dari penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of School Health ini menyatakan, remaja yang memiliki pengalaman pacaran rendah atau belum pernah berpacaran memiliki keterampilan sosial dan kepemimpinan yang lebih baik daripada mereka yang sering berpacaran. Selain itu, ditemukan juga fakta lain bahwa remaja yang tidak berpacaran atau memiliki pengalaman pacaran yang rendah, memiliki tingkat depresi yang rendah.
Penelitian ini juga membuktikan bahwa tidak berpacaran pun, seorang remaja akan tetap memiliki hubungan sosial yang baik dan tidak berpacaran pada usia remaja adalah pilihan yang baik untuk perkembangan mental dan kesehatan remaja itu sendiri.
|Baca Juga: MOI Hadir Untuk Bina Seluruh Media Online di Indonesia
Saya berpikir, hasil riset di atas tidak dimaksudkan untuk 'melarang' para remaja berpacaran. Penelitian itu hanya mau menunjukkan bahwa pilihan untuk tidak berpacaran dari seorang remaja bisa membawa efek positif bagi perkembangan kesehatan mentalnya. Tetapi, itu tidak berarti bahwa 'berpacaran' itu kurang sehat.
Tak ada keraguan sedikit pun dalam diri saya tentang korelasi antara tindakan berpacaran dengan kesehatan mental para remaja kita. Berpacaran merupakan salah satu 'sarana' mengekspresikan perasaan secara kreatif dan produktif. Imajinasi kreatif dan sisi produktivitas seorang remaja akan meningkat ketika dirinya 'mencintai dan dicintai' oleh sang pacar. Kehadiran seorang pacar turut menstimulasi gairah mengaktualisasikan potensinya dalam ruang publik.