Namun di Gunungkidul sendiri, masih belum banyak petani yang pindah haluan untuk budidaya porang. Salah satu petani yang sejak beberapa bulan lalu bergelut dengan porang adalah Iriyanto warga Karangwuni, Kapanewon Rongkop yang mulai membudidayakan porang.
Pria tersebut memanfaatkan lahan seluas 1.000 meter persegi untuk budidaya porang. Adapun sejak November 2020 lalu mulai menanam bibit porang dengan biaya sekitar Rp 13.500.000. Setelah 6 bulan ditanam, petani tersebut sudah bisa melakukan panen dengan hasil sekitar 2 ton umbi.
“Untuk penanganannya sama seperti tanaman pangan lain. Hanya saja tidak terlalu membutuhkan air dalam jumlah banyak. Ya perlu disiram tapi tidak setiap hari,” kata Husni, anak dari Iriyanto, Minggu (28/08).
Lebih lanjut ia mengungkapkan, tanah di Kelurahan Karangwuni sangat cocok untuk tanaman porang karena berjenis tanah merah. Kemudian untuk pupuk yang dimanfaatkan lebih baik menggunakan pupuk kandang seperti kotoran kambing ataupun sapi. Sebab jika menggunakan pupuk kandang dari kotoran ayam sudah tercampur dengan zat kimia.
“Serangan hama nyaris tidak ada, tikus pun juga tidak ada. Saat panen pertama itu rerata 1 pohon menghasilkan 1 kilogram umbi porang,” jelasnya.
Saat ini lahan tersebut ada sekitar 4.000 lebih batang pohon porang yang mana akan dipanen pada September dan bulan Juli 2022 mendatang. Perkiraannya, ia akan bisa memanen umbi lebih banyak dari panen pertama. Menurutnya lahan porang tidak bisa digunakan untuk tanaman lain sehingga memang dikhususkan budidaya tanaman tersebut.
“Harga umbi porang Rp 10.000 per kg. Kalau sudah diolah menjadi turunannya bisa sampai Rp 55.000 per kg,” ujar dia.
Adapun untuk pemasarannya sekarang ini masih membidik di wilayah Indonesia sebab untuk peminatnya lumayan tinggi. Sedangkan ke depan jika produksinya sudah memenuhi minimal sekali panen 5 ton, baru mulai akan membidik pasar luar negeri yaitu Jepang.
Sumber: pidjar.com
(PTW/Redaksi)