Kelas menengah akan menjadi salah satu kunci dalam mencapai visi tersebut, terutama dalam mendukung pembangunan negara ini di masa depan. Maka itu, penciptaan lapangan kerja khususnya untuk kelas menengah menjadi isu penting. Pasalnya, penduduk kelas menengah dan berusia produktif yang akan menjadi tulang punggung bagi perekonomian Indonesia ke depannya.
Produktivitas angkatan kerja, baik dari kelas menengah maupun bukan, disadari Pemerintah Indonesia menjadi kunci supaya negara ini memiliki daya saing tinggi di kancah perekonomian global. Hal ini diawali dengan peluncuran program Making Indonesia 4.0 di 2018 lalu. Salah satu yang menjadi titik berat dalam program itu adalah proses digitalisasi pada segala lini bisnis dan ekonomi.
Dalam 15 tahun ke depan, Indonesia membutuhkan sekitar 9 juta talenta digital (atau 600 ribu talenta setiap tahunnya) untuk mendukung agenda transformasi digital. Formasi talenta digital ini akan lebih didominasi oleh generasi milenial yang sedang dalam usia produktif.
Apalagi saat ini Indonesia sedang menghadapi pandemi Covid-19, di mana kesempatan ekonomi yang ada benar-benar bergantung kepada ekonomi digital. Pemulihan (reset dan rebooting ekonomi) membutuhkan akselerasi, dan ekonomi digital yang akan dapat mewujudkannya dalam waktu dekat ini.
Kesuksesan ekonomi digital tentunya disokong oleh perkembangan infrastruktur teknologi digital.
"Dalam hal ini, Pemerintah sedang membangun infrastruktur 5G yang nanti akan meningkatkan konektivitas seluruh daerah di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas ke Pulau Rote," tutur Menko Airlangga dalam event Peluncuran Laporan Bank Dunia (World Bank) "Pathways to Middle-Class Jobs in Indonesia" secara virtual, di Jakarta, dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, Rabu (30/6).
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa pandemi Covid-19 mengubah gaya hidup masyarakat menjadi lebih ke arah digital, termasuk dalam lapangan kerja. Perubahan ini membawa transformasi untuk pasar tenaga kerja menjadi lebih fleksibel dan adaptif. Namun, perubahan tersebut juga mempersyaratkan pekerja yang memiliki kompetensi lebih tinggi dan adaptif terhadap perubahan.
Untuk merespon transformasi pasar tenaga kerja itu, Pemerintah sudah melakukan beberapa upaya meningkatkan kualitas SDM, antara lain dengan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang sudah diatur dalam UU Cipta Kerja, kemudian, Program Kartu Prakerja yang ditujukan untuk para pencari kerja, pekerja yang di-PHK, dan pekerja yang membutuhkan kompetensi lebih tinggi dari sebelumnya, jadi program ini berfokus kepada skilling, upskilling, dan reskilling, serta dalam jangka panjang Pemerintah menyempurnakan sistem nasional Pendidikan dan Pelatihan Teknis dan Kejuruan atau Technical and Vocational Education and Training (TVET) agar lebih sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja dengan menguatkan link and match antara sektor industri dan sekolah vokasi.
"Untuk mendorong lebih lanjut keterlibatan industri dalam kegiatan vokasi, Pemerintah sudah menyediakan Super Tax Deduction, yaitu insentif pajak sampai 200% dari total biaya riil yang dikeluarkan oleh industri ketika menjalankan kegiatan vokasi melalui skema pelatihan dan pemagangan," ucap Menko Airlangga.
Sebagai target jangka menengah dari kebijakan penciptaan lapangan kerja di Indonesia akan fokus kepada 3 (tiga) strategi, yaitu ekonomi hijau (green economy), ekonomi biru (blue economy), dan ekonomi digital. Konsep 'ekonomi hijau' diimplementasikan melalui transisi kepada energi terbarukan, mendorong keberlanjutan dan produktivitas dari rantai pasok minyak sawit, lalu ekonomi sirkular dengan pemanfaatan limbah minyak sawit sebagai bioenergi, dan sebagainya.
Lalu, untuk mengembangkan 'ekonomi biru', Pemerintah fokus meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan pembudidayaan ikan dan industri perikanan, serta Program Rehabilitasi Mangrove, karena jumlah masyarakat pesisir Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia.
(PTW/Redaksi)