Deklarasi Hari Toleransi Internasional (HTI) ini dilakukan oleh UNESCO pada tahun 1995 bertepatan dengan ulang tahun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ke-50 tahun.
Kali ini INBISNIS.ID menghubungi Kepala Kantor Agama Kemenag Provinsi Maluku Utara, H. Sarbin Sehe, S.Ag. M.Pd.I pada Senin malam (15/11/2021) melalui aplikasi Whatsapp terkait bagaimana pandangannya tentang Hari Toleransi Internasional ini.
Menurut Sarbin bahwa Toleransi atau dalam Islam disebut tasamu, pada hakekatnya adalah sikap saling menghargai satu sama lain. Wujud dari Islam rahmat bagi alam semesta. Sikap toleransi menjadi penting dalam rangka kedamaian, kerukunan bagi kemunitas kehidupan. Hari toleransi dunia menjadi komitmen manusia sejagat agar terus saling menghargai satu sama lain, menguatkan tali ikatan kemanusian dibalik perbedaan dalam dirinya, seperti agama, suku, ras dan lainnya.
Ketika ditanyakan bahwa kita sudah mempunyai Bhineka Tunggal Ika sejak dulu sebelum dideklarasikan Hari Toleransi Internasional ini dimana relevansinya?
“Konsep wathaniyah atau kebangsaan sangat relevan dengan toleransi. Perilaku toleransi itulah modal dasar pengakuan dan penghargaan atas harkat dan martabat kebangsaan dengan ikatan emosional, bhineka tunggal ika, berbeda-beda tetapi satu yang hidup dalam rumah besar yg di sebut Indonesia. Peradaban dunia yg aman, damai dan rukun karena warga dunia berperilaku toleransi,” papar Sarbin.
Pada konteks Maluku Utara dengan beragam suku yang menjunjung tinggi “adat se atorang” (hukum yang dibuat berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan) memunculkan banyak kearifan lokal (local wisdom) yang harus dilestarikan karena ada relevansinya dengan HTI seperti salah satu contohnya adalah Adat galib se lukudi mengisyaratkan bahwa hak pribadi seseorang, dan hak atas orang lain patut dihargai dan dijunjung tinggi menurut kebiasaannya.
Dari beberapa sumber yang dikumpulkan INBISNIS.ID bahwa banyak sekali kearifan lokal di bumi Kie Raha (Maluku Utara) yang harus terus dilestarikan contoh lain seperti adat ngale se cara sere se doniru ialah kebiasan-kebiasaan yang baik dan berguna dalam menjaga kerukunan hidup bersama, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum-hukum yang berlaku seperti: tata cara perkawinan, tata cara upacara adat dan tata cara pergaulan kerukunan hidup bermasyarakat.
Sebagian besar ulama sependapat bahwa adat istiadat sebagai landasan dalam pembentukan hukum Islam.
“Bahwa kearifan lokal yg beragam ini akan terjaga dengan baik jika toleransi menjadi pintu masuk. Keragaman lokal wisdom adalah rahmat bagi umat manusia, kewajiban untuk memeliharanya dengan toleransi,” tutur Sarbin.
Di akhir obrolan Sarbin yang juga sebagai ketua Nahdatul Ulama (NU) Maluku Utara ini mengajak seluruh lapisan masyarakat agar bersama-sama menjaga silaturahim sesama umat beragama dengan mengedepankan perilaku toleransi secara universal.
“Ayo kita bumikan toleransi dalam perilaku keseharian melalui pengamalan agama yg moderat atau moderasi beragama akan melahirkan perilaku toleransi,” pungkas Sarbin.
(Anto Hoda/Redaksi)