Berdasarkan pantauan Media INBISNIS.ID, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia(GMNI), gelar aksi unjuk rasa di empat titik, yaitu Kantor Dinas Pendidikan, Kantor Bupati Manggarai, Kantor Polres, dan Kantor DPRD Manggarai.
Koordinator umum, Clara Siti Jaya dalam orasinya, menegaskan bahwa perempuan di era revolusi 4.0 harus berjuang untuk hak-haknya. Perempuan harus bangkit dari segala kezoliman dan ketertindasan. Karena perempuan sering realistis, lebih berimbang dan lebih beradab dalam pendekatan di bandingkan lelaki. Maka perempuan harus sadar jangan sampai menjadi budak atau korban Industri 4.0.
"Saya sangat mengharapkan bahwa perempuan hari ini harus menjadi pelopor bangsa dan tanah airnya, dan tidak mudah goyah dengan godaan zaman yang memanjakan ini. Maka perempuan harus sadar jangan sampai menjadi budak atau korban industri 4.0," tegasnya.
Dalam aksi unjuk rasa tersebut, GmnI menilai, Indonesia sementara mengalami keadaan darurat kekerasan terhadap perempuan. Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), pada 2020 tercatat sekitar 8.600 kasus kekerasan terhadap perempuan. Tahun 2020 mengalami kenaikan sebanyak 8.800 kasus hingga November 2021. Jenis kekerasan yang dialami perempuan paling banyak adalah kekerasan fisik mencapai 39 persen, kekerasan psikis 29,8 persen, dan kekerasan seksual 11,33 persen.
Komnas Perempuan pun mencatat kekerasan terhadap perempuan sebanyak 4.500 kasus selama rentang waktu Januari hingga Oktober 2021. Angka ini melonjak dua kali lipat jika dibandingkan dengan aduan yang diterima tahun 2020 yaitu 2.389 kasus. Dari 8.243 kasus yang ditangani Komnas Perempuan, yang paling menonjol di ranah privat atau disebut KDRT/RP (Kekerasan dalam Rumah Tangga/Ranah Personal) sebanyak 79 persen atau 6.480 kasus.
Anehnya, di tengah keadaan Indonesia dalam keadaan darurat masalah kekerasan terhadap perempuan, pemerintah tidak memperlihatkan usaha-usaha dalam menyelesaikannya. Salah satu buktinya ialah dengan dikeluarkannya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dari Prolegnas tahun 2021.
Lahirnya Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, juga hanya mampu memberikan harapan dalam lingkungan kampus saja. Sementara kasus kekerasan seksual juga kerap terjadi pada lingkungan sekolah menengah bahkan sekolah dasar.
Lahirnya Permen tersebut juga tidak disertakan dengan Program-Program Praktis sebagai upaya pencegahan terjadinya kekerasan seksual. Pemerintah cenderung mengutamakan langkah retributif, sehingga mengabaikan aspek restoratif justice dalam menyelesaikan kasus.
Kemudian GmnI menilai kasus perempuan di Manggarai sendiri, KDRT sebanyak 178 kasus terhitung sejak tahun 2019 sampai tahun 2021.
Dirincikan, untuk tahun 2019 sendiri sebanyak 70 kasus dan pada anak-anak 33 kasus. Tahun 2020, kasus 55 kasus dan yang terjadi pada anak 18 kasus. Dan, tahun 2021 hingga sekarang telah terjadi 5 kasus kekerasan terhadap anak.
Penanganan kasus kekerasan perempuan di Manggarai, memang terlihat masih sedikit. Tetapi, situasi ini tidak bisa diasumsikan sebagai rendahnya kasus kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai ranah. Kekerasan terhadap perempuan di Manggarai sangat sering terjadi, tetapi jarang dipublikan dan dilaporkan. Hal yang paling menyebabkan korban tidak melaporkan kekerasan adalah ketidakberanian korban. Ketidakberanian ini dipicu karena ketidaktahuan terhadap prosedur pelaporan hukum dan postur hukum yang berbelit-belit.
Pertama, Ketidaktahuan ini harus dimaknai sebagai akibat dari minimnya peran pemerintah dan masyarakat dalam mensosialisasikan hal tersebut. Minimnya sosialisasi tersebut karena pemerintah belum melihat kasus ini sebagai sebuah permasalahan besar. Hal ini bisa dilihat dari intervensi anggaran yang dibuat pemerintah. Sama sekali tidak menyasar ke hal-hal medasar dalam menyelesaikan persoalan ini.
Kedua, ketidakberanian dalam melaporkan karena ketidakadannya jaminan keamanan bagi pelapor. Hal ini disebabkan oleh peliknya hukum kita yang menyulitkan pelaporan dalam pembuktian hukum. Oleh karena itu, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Manggarai menyatakan sikap, bahwa.
Pertama, mendesak Dinas Pendidikan Kabupaten Manggarai membuat program kerja pendidikan tentang kekerasan seksual di lingkungan sekolah.
Kedua, mendesak Bupati dan Wakil Bupati Manggrai membuat program yang bermuara pada keadaan Ramah Perempuan/Ibu.
Ketiga, mendesak DPR RI melalui DPRD Manggarai untuk mengesahkan RUU TPKS.
Keempat, mendesak DPRD Manggarai memasifkan sosialisasi dampak kekerasan terhadap perempuan.
Keenam, mendesak Kepolisian Resort Manggarai agar lebih sigap dalam menangani laporan korban kekerasan.
Ketujuh, membuka Posko Pengaduan kekersan terhadap Perempuan.
(Hendratias Iren/Redaksi)