Ogoh-ogoh sendiri diambil dari sebutan ogah–ogah dari bahasa Bali yang artinya sesuatu yang digoyang-goyangkan.
Bagi orang awam, Ogoh-ogoh merupakan boneka raksasa yang diarak keliling desa pada saat menjelang malam sebelum hari raya Nyepi (Ngerupukan) yang diiringi dengan gamelan Bali yang disebut Bleganjur, kemudian untuk dibakar.
|Baca Juga: Pariwisata Indonesia Menuju Ramah Disabilitas
Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Dalam perwujudan patung yang dimaksud, Bhuta Kala digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan; biasanya dalam wujud Raksasa.
Cendekiawan Hindu Dharma mengambil kesimpulan bahwa proses perayaan Ogoh-ogoh melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dasyat.
Kekuatan itu dapat dibagi dua, pertama kekuatan Bhuana Agung, yang artinya kekuatan alam raya, dan kedua adalah kekuatan Bhuana Alit yang berarti kekuatan dalam diri manusia. kedua kekuatan ini dapat digunakan untuk menghancurkan atau membuat dunia bertambah indah.
Sebelum pandemi, tradisi mengarak ogoh-ogoh di Bali selalu dilakukan setiap tahunnya. Kini, kegiatan tersebut ditiadakan sebagai bagian dari upaya pencegahan virus covid-19.
|Baca Juga: Kembangkan Kawasan Borobudur, Kemenparekraf Gandeng Tiga Sektor
Meski begitu, beberapa tradisi ritual tetap berjalan. Hanya saja dibatasi jumlah pengikutnya. Seperti pada pelaksanaan upacara Melasti: proses penyucian menjelang Nyepi yang hanya boleh diikuti maksimal 25 orang saja yang tentunya dengan menerapkan protokol 3M dan 3T.
(Red)