Tindakan prank tersebut biasanya menimbulkan gerakan refleks yang tidak dapat dikontrol sepenuhnya oleh manusia karena gerakan refleks tersebut merupakan gerakan spontan yang dikeluarkan oleh tubuh dan digerakkan oleh otak untuk mengeluarkan suatu reaksi yang dapat berdampak pada orang yang dilihatnya saat itu. Jika gerakan refleks tersebut menimbulkan peristiwa pidana, maka perlu untuk melihat peristiwa pidana tersebut dari unsur-unsur hukum pidananya.
Baca Juga : Undangan Pelatihan Jurnalistik Dasar Bersama INBISNIS.ID
Dilansir Hukumonline, gerakan spontan yang dilakukan oleh target atau korban prank merupakan ketidaksengajaan sesuai dengan keempat poin yang dijelaskan di atas, mengingat tindakan pelaku prank dapat menyebabkan adanya goncangan batin yang dialami oleh korban prank secara seketika.
Selain itu, dengan tindakan pelaku prank yang mengagetkan korban prank maka korban prank secara seketika akan memberikan perlawanan atau pembelaan tanpa memikirkan aspek kehati-hatian atas tindakannya tersebut. Bagaimana bila tindakannya mengakibatkan orang lain terluka atau secara tidak langsung melakukan perbuatan pidana?
Kesesatan fakta atau feitelijke dwaling adalah suatu kekeliruan yang dilakukan dengan tidak sengaja yang tertuju pada salah satu unsur perbuatan pidana. Adanya kesesatan fakta tersebut mengakibatkan pelakunya, atau dalam hal ini korban prank yang bereaksi terhadap tindakan prank, tidak dapat pidana.
Lain halnya apabila korban prank telah mengetahui bahwa ia sebagai objek dari aksi prank, namun kemudian dengan sengaja melakukan pemukulan atau menabrak pelaku prank hingga menyebabkan pelaku meninggal dunia. Dalam hal ini korban prank dapat dijerat pidana dengan Pasal 351 ayat (3) KUHP dengan ancaman pidana paling lama tujuh tahun.
(PTW/Redaksi)