Kegiatan yang selama 6 pekan setiap hari sabtu, bertempat di Hotel Pelita Maumere, NTT.
Dalam kesempatan tersebut, sejumlah peserta menyampaikan apresiasi dan saran mereka terhadap STFK Ledalero.
"Kuliah umum ini sangat bagus. Saya ingin belajar filsafat. Namun, program sarjana yang berlangsung 4 tahun itu terlalu lama untuk orang tua macam kami ini. Semoga STFK Ledalero membuka program diploma,” ungkap Melki Gobang, salah satu peserta yang setia hadir dalam setiap sesi kuliah umum.
“Kuliah umum seperti ini membantu kami memiliki pendasaran yang bagus untuk perjuangan kami. Karena itu, sebaiknya tetap dibuka untuk kesempatan selanjutnya,” kata John Bala, aktivis HAM.
“Untuk selanjutnya, tema kuliah umum mesti diperluas dengan menambahkan tema ilmu sosial, teologi, atau moral,” ungkap Lodi Darman, mahasiswa Semester VII STFK Ledalero.
Salah satu peserta lainnya, Robi Keupung, mengapresiasi langkah kreatif STFK Ledalero yang telah membuka kuliah umum ini. Namun, Robi juga mengatakan, peserta mahasiswa kurang representatif, sebab selama kuliah umum berlangsung peserta mahasiswa hanya dari internal STFK Ledalero sendiri dan tidak ada mahasiswa baik dari Unipa Maumere dan Ikip Muhammadiyah.
Dalam komentarnya, Dr. Yosef Keladu Koten, ketua urusan akademik STFK Ledalero, mengatakan, STFK Ledalero berusaha membuka kembali kuliah umum pada kesempatan berikutnya dengan tema yang baru dan dengan jangkauan peserta yang cukup representatif menurut latar belakang profesi.
Ia juga menambahkan, saran yang diberikan oleh peserta kuliah umum ini akan menjadi bahan pertimbangan STFK Ledalero dalam menyelenggarakan kuliah umum selanjutnya.
Menurut Dr. Yosef, kuliah umum bertujuan mengajak publik, khususnya masyarakat Maumere, untuk berpikir dan berefleksi tentang realitas secara filosofis. Pada saat yang sama, melalui kuliah umum ini diharapkan terjadi dialog pengetahuan, sehingga mampu memperluas wawasan dan cara berpikir. Jawaban Dr. Yosef disambut gembira oleh para peserta yang terdiri atas mahasiswa, anggota DPRD Sikka, dosen, dan aktivis.
Studium Generale yang telah berlangsung selama enam (6) pekan ini menghadirkan 6 pembicara, yang semuanya merupakan dosen di STFK Ledalero.
Hari pertama dimulai pada Sabtu (18/9) oleh Dr. Yosef Keladu Koten, dosen filsafat politik, dengan topik Tindakan Moral: Sebuah Pengantar. Menurut Dr. Yosef, untuk menganalisis tindakan moral dibutuhkan pendekatan multi perspektif, seperti perspektif filosofis, teologis, dialog antar agama, dan sosio-politik.
Pada sesi kedua, Sabtu (25/9), Dr. Otto Gusti Madung, Ketua STFK Ledalero sekaligus dosen filsafat politik dan HAM, membawakan materi dengan topik Diskursus tentang Keadilan Distributif dalam Pemikiran Politik Kontemporer (Rawls, Nozik, dan Sandel).
“Keadilan memiliki tiga ciri esensial,” demikian Dr. Otto, “yaitu pertama, keadilan selalu berkaitan atau terarah kepada orang lain. Kedua, keadilan menuntut untuk dipenuhi atau dijalankan. Ketiga, keadilan menuntut persamaan.”
Pada sesi ketiga, Robert Mirsel, dosen sosiologi dan peneliti pada Puslit Candraditya Maumere serta mantan Ketua Vivat International, membawakan materi berjudul Tujuan Pembangunan Berkelanjutan untuk Dunia yang Lebih Adil pada Sabtu (2/10).
Menurut Robert Mirsel, pembangunan mesti berkarakter transformatif. Artinya, setiap aktivitas pembangunan mesti terarah pada perubahan yang signifikan dan universal, sehingga semua orang merasakannya.
Pekan keempat kuliah umum dibawakan oleh Dr. Mathias Daven, dosen filsafat, dengan materi berjudul Toleransi dan Klaim Kebenaran dalam Konteks Dialog Antaragama di Indonesia. Berbeda dari pekan sebelumnya yang berkonsentrasi pada persoalan filosofis, kali ini, Dr. Mathias menghantar peserta pada sebuah permenungan tentang fenomena seputar agama di Indonesia. Sebab itu, tema fundamentalisme dan radikalisme agama menjadi hal penting yang dibicarakan Dr. Mathias.Topik ini berhasil menggugah nalar diskursif peserta diskusi.
Pada pekan kelima, Dr. Leo Kleden, dosen hermeneutika dan filsafat manusia, membawakan materi Keadilan Allah: Merespons Kejahatan dan Penderitaan dalam Dunia pada Sabtu (16/10). Sedikit berbeda dari metode yang digunakan para pembicara sebelumnya, kali ini, Dr. Leo menggunakan metode campuran, yakni spekulatif-naratif.
Persoalan tentang penderitaan tidak hanya dibicarakan dengan pendekatan pemikiran para tokoh filsafat dan teologi, tetapi juga dengan menggunakan peristiwa nyata yang dialami umat manusia sepanjang sejarah peradaban, seperti Holocaust, pembantaian massal 1965/6, atau peristiwa Timor Timur (Timor Leste).
Pada akhir pemaparannya, Dr. Leo mengatakan, kisah Ayub dalam kitab suci Kristiani dapat menjadi representasi sikap yang benar di hadapan pengalaman akan penderitaan.
Dr. Felix Baghi, dosen estetika dan filsafat lingkungan hidup, menjadi pembicara terakhir dari seri kuliah umum Teori Keadilan ini.
Dr. Felix membawakan materi dengan judul Keadilan Transisional: Merespons Ketidakadilan di Masa Lalu yang terjadi pada Sabtu (23/10). Dalam pemaparannya, Dr. Felix menegaskan, memori amat penting dalam konteks pencarian kebenaran masa lalu dan juga sebagai dasar untuk mengerti keadilan transisional.
“Di sini, kita berbicara tentang hubungan antara memori, keterlupaan dan pengampunan. Pertanyaan yang penting dalam memori bukan siapa yang mengingat, tetapi apa atau siapa yang diingat dan bagaimana orang mengingat? Apa yang membuat ingatan itu menjadi penting dan menyenangkan, serta apa alasannya?,” tegas Dr. Felix.
Sebab itu, pelecehan terhadap memori, demikian Dr. Felix, menjadi sebuah ancaman terhadap upaya mencari kebenaran dari peristiwa masa lalu.
(Hendratias Iren/Redaksi)