Prihal tersebut, dengan dibentuknya Unit Nations berharap bisa bergerak semaksimal mungkin untuk membantu perempuan yang mengalami kekerasan. Hal ini dikatakan Agung Intan Ary Dwi Mayasukma, S.H., M, pada Minggu (16/1/22).
"PBB (United Nations) telah membentuk Komisi Kedudukan Perempuan (Commission on the Status of Women) yang bertugas menentukan langkah-langkah, kebijakan serta memantau tindakan PBB bagi kepentingan perempuan. PBB melihat bahwa diskriminasi terhadap perempuan tetap berlangsung di banyak negara, sehingga perlu dikeluarkannya sebuah Deklarasi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan," ujarnya.
Lebih lanjut Agung Intan Ary Dwi Mayasukma, S.H., M.H mengatakan Undang-Undang penghapusan terhadap perempuan membuat sebagian orang jengah lantaran dianggap menyeret masalah privat ke ranah publik.
"Undang-Undang tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga nomor 23 tahun 2004 membuat jengah sebagian orang, karena dianggap menyeret persoalan privat ke ranah publik," katanya.
Ia mengatakan, tidak dapat dipungkiri, persoalan ini menjadi tabuh internal keluarga karena dianggap tidak layak diungkap ke ranah publik. Maka tidak heran UU meski UU ini sudah berlaku kasus yang ditangani bisa dihitung jari.
"Masalah domestic violence bagi sebagian masyarakat kita masih dipandang sebagai “tabu” internal keluarga, karena tidak layak diungkap ke muka umum. Maka tidak heran, meski UU ini sudah berlaku kasus yang secara resmi ditangani masih bisa dihitung jari," katanya.
Agung Intan berharap, UU menjadi tolak ukur untuk meperjuangkan keadilan terhadap perempuan. Perempuan adalah sebagai pendidik berharap bisa membantu untuk mengatasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
“Karena pada saatnya, tradisi kekerasan yang diwarisi dari pola pengasuhan dalam keluarga ini, akan berhadapan dengan persoalan hukum negara jika tetap dipelihara,” jelasnya.
Agung Intan Ary Dwi Mayasukma, S.H., M.H menjelaskan, UU Nomor 23 tahun 2004 mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
“Biasanya kekerasan dalam rumah tangga secara mendasar, meliputi kekerasan fisik, yaitu setiap perbuatan yang menyebabkan kematian, kekerasan psikologis yaitu setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, kehilangan rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya pada perempuan, kekerasan seksual yaitu setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau di saat korban tidak menghendaki dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara – cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban dan atau menjauhkannya mengisolasi dari kebutuhan seksualnya, kekerasan ekonomi yaitu setiap perbuatan yang membatasi orang perempuan untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan atau barang atau membiarkan korban bekerja untuk di eksploitasi atau menelantarkan anggota keluarga,” jelasnya.
Agung Intan Ary Dwi Mayasukma, S.H., M.H mengatakan KDRT terjadi dalam lingkup personal yang penuh muatan relasi emosi, penyelesaianya tidak segampang kasus – kasus kriminal dalam konteks publik. Suara perempuan atau korban kekerasan domestic cenderung membisu, terdapat beberapa alasan yang menyebabkan tindakan KDRT seperti fenomena gunung es, lebih banyak kasus yang terpendam ketimbang yang terlihat.
“Alasan korban enggan melaikukan tindakan hukum ketika terjadi kekerasan, antara lain tindakan kekerasan yang dialami adalah sesuatu yang lumrah terjadi, bahkan dianggap sebagai proses pendidikan yang dilakukan suami terhadap istri, atau orangtua terhadap anak. Anggapan ini dihubungkan dengan kepercayaan bahwa suami adalah pemimpin keluarga, sehingga mempunyai hak mengatur terhadap anggota keluarganya, tentunya anggapan tersebut salah dan harus diluruskan,” katanya.
Agung Intan Ary Dwi Mayasukma, S.H., M.H mengungkapkan bahwa rasa lemah dan tidak percaya diri, karena pandangan masyarakat terhadap perempuan janda membuat perempuan korban kekerasan tetap mempertahankan perkawinannya, tekanan lingkungan untuk tetap bertahan dalam hubungan rumah tangga. Stereotype jender yang telah melekat pada lak-laki dan perempuan, seringkali menjebak kedua jenis kelamin ini pada posisi sulit tentunya hal ini menandakan mereka yang bergerak pada wilayah feminist legal theory yang berusaha merekonstruksi sistem hukum yang netral, obyektif dan transformative.
Lanjutnya, netralitas hukum yang mengandaikan imparsial tidak memihak pada satu pihak atau golongan, sehingga dalam perkembangannya hukum berdampak pada keberadaan perempuan. Obyektivitas hukum dicapai jika polaritas dan dikotomi maskulin feminin dihilangkan, dengan demikian kekerasan di wilayah domestik juga dianggap sebagai tindak kejahatan.
“Saatnya bagi masyarakat mengubah pelabelan jender ini menjadi lebih manusiawi, sehingga cara – cara mengaktualisasikan diri juga menjadi lebih assertif di masyarakat. Dengan keadilan jender sebagai suatu kondisi dan perlakuan yang adil terhadap perempuan dan laki – laki dapat terwujud. Kesetaraan yang adil merupakan suatu konsep yang mengakui faktor – faktor khusus seseorang serta memberikan haknya sesuai dengan kondisi orang tersebut. Jadi, bukan memberikan perlakuan yang sama kepada individu yang berbeda kebutuhan dan aspirasinya, tapi memberikan perhatian yang sama kepada setiap individu agar kebutuhannya dapat terpenuhi, intinya hentikan kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan, karena insan yang lahir ke muka bumi ini dari rahim seorang perempuan,” tutup Agung Intan Ary Dwi Mayasukma, S.H., M.H.
(Dionisius Harum/Redaksi)