Hal itu merujuk pada pernyataan sikap tegas, lugas semua anggota DPRD Nagekeo saat menerima Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa ketika menggelar aksi damai pada tanggal 10 Januari 2022 lalu.
Klemens Lae, salah satu tokoh muda Masyarakat Adat Labolewa mengungkapkan bahwa, DPRD kala itu menyatakan akan menindaklanjuti secara kelembagaan setelah mendengar dan menerima tuntutan atau pernyataan sikap masyarakat adat Labolewa.
DPRD Nagekeo berjanji akan memanggil Bupati Nagekeo, Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Nagekeo, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan dinas terkait lainnya untuk dilakukan rapat kerja dalam rangka mempertanyakan secara detail mengenai semua proses yang dilakukan Pemerintah Daerah (Pemda) terkait pengadaan tanah untuk pembangunan waduk Lambo. Apalagi DPRD Nagekeo mengaku lembaga tersebut tidak dilibatkan dalam urusan waduk Lambo, Namun hanya memonitor perkembangan urusan waduk Lambo melalui pemberitaan media massa mengenai gejolak atau polemik di masyarakat adat.
"Pernyataan ini kami masih ingat dan rekam secara baik yang disampaikan oleh anggota legislatif. Kami memandang ini sikap kemitraan yang saling bersinergi untuk mengetahui akar masalahnya secara clear and clean, sehingga sangat efektif untuk menemukan solusi yang baik dan bermartabat sebagai upaya percepatan pembangunan waduk Lambo" Papar Klemens kepada INBISNIS.ID, Kamis (20/01/2021).
Kata dia, saat ini berkembang narasi-narasi tanpa dasar yang beranggapan bahwa tidak ada masalah yang serius dalam agenda pembangunan waduk Lambo, bahkan mereka mendesak segera membayar ganti kerugian.
"Aneh, mendesak membayar ganti kerugian berdasarkan peta bidang tanah sementara masih ada penerima yang cacat hukum. Sesuatu yang ironis dan hampa argumentasinya. Kalau tidak ada masalah yang serius, mengapa masih ada yang pasang plang pelarangan di atas tanah ulayat untuk tidak boleh beraktivitas sebelum menyelesaikan sengketa ulayat?, Ungkap Klemens.
"Ada laporan dugaan penggelapan data tanah ulayat yang saat ini sedang berproses di Polres Nagekeo, ada nama suku baru/siluman di Labolewa, luas pembangunan waduk yang kabur dan tidak jelas bahkan berubah-ubah, pengukuran dan identifikasi lahan tanpa ada pemegang hak ulayat dan masih ada fakta atau peristiwa hukum lainnya yang memberikan keyakinan bahwa proses pengadaan tanah untuk pembangunan waduk lambo cacat hukum. Kepada wakil rakyat yang terhormat, jangan mengingkari pernyataan resmi dihadapan kami, " Bebernya lebih lanjut.
Menurut Klemens, Kredibilitas sebagai anggota Legislatif dipertaruhkan dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat Labolewa. Mereka yakin dan percaya bahwa semuanya akan diselesaikan secara arif dan bijaksana berlandaskan semangat To’o Jogho, Waga Sama (gotong royong) demi kesejahteraan kabupaten Nagekeo.
"Asalkan semua stakeholder bekerja dilandasi kejujura, transparan, profesioal, tidak munafik dan mempunya political will. Kami mendukung waduk Lambo, tetapi kami menolak proses yang inkonstitusional dan tidak mencerminkan cara kerja yang berbudaya. Kami mengingatkan, jangan meremehkan dan menyelepekan suara persekutuan masyarakat adat. Vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Apabila tidak segera merealisasikan sikap politiknya, kami akan terus melakukan aksi untuk menuntut hak-hak kami sebagai masyarakat adat," Jelasnya.
Klemens menegaskan bahwa, masyarakat adat bergerak atas kesadaran kolektif dan hakiki memperjuangkan hak-hak ulayat serta tempat-tempat ritual berdasarkan hukum adat sebagaimana amanat konstitusi. Masyarakat adat tidak bergerak atas iming-iming sesaat atau kelompok pragmatis yang hanya money oriented namun kehilangan eksistensinya.
"Atas semua fakta-fakta lapangan ini, kami telah bersurat kepada Presiden RI, DPR RI, Kapolri, Kementrian terkait, LMAN, Gubernur dan DPRD Propinsi NTT" Beber Klemens, tokoh muda masyarakat adat Labolewa.
( Petrus Fua Betu Tenda / FF )