Seperti rumah Peneleh, yaitu sebuah rumah yang dimana pak HOS Tjokroaminoto dilahirkan hingga dibesarkan. Ketika beliau sudah mulai dewasa dan sudah mulai berjuang melalui surat kabar yang dikelola beliau sendiri bernama Oetoesan Hindia. Disanalah HOS Tjokroaminoto dan istrinya Bu Soeharsikin menyewakan beberapa kamar untuk dijadikan kos-kosan. Selain untuk kosan, rumah tersebut juga dijadikan sebagai tempat pengkaderan untuk menggodok putra-putra terbaik bangsa baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kata “Peneleh”, sebuah simbol utama dari kisah hidup pak Tjokro. Selain itu, rumah beliau juga terletak di Jalan Peneleh VII No. 29-31, Surabaya. Walaupun sekarang daerah tersebut sudah menjadi perkampungan yang padat, namun dahulunya merupakan pusat dari pengembangan jiwa Pergerakan Nasional Indonesia (Mulawarman, 2014: 21).
Di rumah itu, terdapat beberapa orang yang tinggal dan menjadi murid beliau, seperti Semaoen, Alimin, Moeso atau Moesodo, tokoh-tokoh utama PKI seperti Abikoesno Tjokrosoejoso, bahkan tokoh proklamator kita juga pernah tinggal disini yaitu Soekarno. Soekarno sendiri menjuluki rumah itu dengan sebutan Dapur Nasionalisme (Mulawarman, 2014: 22).
Julukan Dapur Nasionalisme seakan-akan rumah tersebut bagaikan “Rumah Bernyawa”, di rumah itulah, Pak Tjokro sering menerima tamu dari berbagai kalangan untuk membicarakan ideologi negeri hingga menjadi tempat untuk membentuk rencana-rencana besar Sarekat Islam yang digerakkan oleh Pak Tjokro. Walaupun, rumah itu sebagai simbol bagi kelahiran Guru Bangsa, kelahiran yang dimaksud disini adalah bukan kelahiran secara alami, namun bermakna kemunculan tokoh dalam ruang waktu yang tepat. Tokoh-tokoh yang dimaksud dipercaya suatu hari akan membawa perubahan yang besar bagi bangsa, berbekalkan Pengkaderan yang dilakukan di Rumah Peneleh sebelumnya (Mulawarman, 2014: 24).
Soekarno sendiri yang kala itu berumur 15 tahun, beliau sudah dikirim oleh ayahnya Raden Sukemi Sastrodiharjo untuk dididik oleh Pak Tjokro yang kebetulan sahabat ayahnya Soekarno. Secara individual, Pak Tjokro adalah orang dengan sifat kepemimpinan yang kharismatik, mempunyai kepercayaan diri yang tinggi, serta memberikan harapan yang tinggi bagi murid-muridnya. Dari sifat itulah, beliau saat itu memperlakukan Soekarno seperti anaknya sendiri sehingga menjadikan Soekarno muda sebagai anak yang tegar dan tidak cengeng, dan pada akhirnya menelurkan a tiny creative minority, berkat didikan Pak Tjokro.
Dalam pengkaderan yang dilakukan di Rumah peneleh, Pak Tjokro tidak hanya melakukannya sendiri, beliau dibantu oleh istri beliau yang bernama Bu Soeharsikin yang akrab juga dipanggil dengan sebutan Bu Tjokro. Bu Soeharsikin merupakan wanita keturunan Jawa yang memiliki tutur kata yang lembut. Beliau merupakan tipe wanita yang patuh pada suami, bahkan beliau selalu mendampingi suaminya Pak Tjokro sejak menikah sampai beliau meninggal pada tahun 1921.
Tidak hanya setia pada suami, Bu Soeharsikin juga mengikuti jejak suaminya dalam berjuang. Bahkan beliau rela untuk meninggalkan kemapanan dan kedamaian yang sudah dimiliki beliau sebelumnya. Melalui ketulusan dan kelembutan hati seorang ibu, walaupun hanya sebagai pemilik kosan, Bu Soeharsikin mampu menyuntikkan jiwa Jawa- Priyayi- Islam bagi para anak muda yang nantinya menjadi tokoh-tokoh luar biasa bagi bangsa pada masanya. Dari kebaikan Bu Soeharsikin itulah dikenal dengan sebutan “Internaaat-Soeharsikin” (Mulawarman, 2014: 32).
Rumah Peneleh sangat banyak sekali memberikan kenangan dalam sebutir kisah hidup para tokoh pendiri bangsa dalam mewujudkan mimpi-mimpinya untuk membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan. Bermodalkan perpaduan antara jiwa Islam dan semangat Nasionalisme, HOS Tjokroaminoto atau Pak Tjokro mampu membina para tokoh-tokoh muda dalam menumbuhkan sikap cinta tanah air.
Penulis: Ilham Fahiza Putra (Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Andalas)
(Redaksi)